Jumat, 19 November 2010

Membenahi Kinerja Koperasi

Membenahi Kinerja Koperasi
•Oleh Achma Hendra Setiawan
SEJAK dikeluarkannya Inpres 18/1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Koperasi yang disertai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD, masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membangun koperasi tanpa dibatasi wilayah kerjanya.
Atas kenyataan itu, proses terbentuknya koperasi telah mengalami pergeseran, yang sebelumnya dari atas ke bawah (top-down) berubah menjadi dan diarahkan dari bawah ke atas (bottom-up).
Berdasarkan Inpres 18/1998, setiap orang yang memiliki kepentingan ekonomi atau kegiatan ekonomi yang sama bebas mendirikan koperasi menurut basis pengembangannya masing-masing. Sebagai konsekuensinya, jumlah koperasi meningkat pesat. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun (1998-2001), jumlah koperasi telah meningkat dua kali lipat. Sampai saat ini terdapat lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.
Meskipun jumlah koperasi dan anggotanya meningkat secara signifikan, namun secara kumulatif kinerja koperasi belum mampu mengimbangi peningkatan jumlah koperasi dan anggotanya. Kinerja koperasi itu dapat diketahui secara periodik, karena secara yuridis pemerintah menerapkan penilaian klasifikasi dengan peringkat, yakni kelas A (sangat baik), kelas B (baik), kelas C (cukup baik), dan kelas D (kurang baik).
Peningkatan jumlah koperasi sejak dikeluarkannya Inpres 18/1998, ternyata tidak sejalan dengan kinerja usaha koperasi itu sendiri. Akhir-akhir ini, kinerja institusi itu cenderung mengalami penurunan, yang antara lain ditunjukkan baik oleh tingkat profitabilitas yang mencerminkan otonomi dan kemandirian koperasi yang relatif masih redah maupun oleh tingkat efisiensi yang mencerminkan partisipasi ekonomi anggota yang juga masih belum memadai.
Tidak Sehat
Banyak koperasi yang kemudian berubah menjadi tidak sehat, tidak bisa berkembang, atau bahkan tutup. Di Jawa Tengah saja, dari 15.799 unit, jumlah koperasi yang tidak sehat mencapai 13.799 unit.
Koperasi yang tidak sehat itu merupakan koperasi kecil yang modalnya sedikit dan manajemennya kurang baik. Dengan demikian, hanya sekitar 2.000 unit koperasi (12,65 persen) yang masih sehat. Hal itu perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, terutama dalam pembinaan, penataan, dan pelatihan manajemen (Suara Merdeka, 16 Pebruari 2007).
Konsekuensi terburuk dari menurunnya kinerja koperasi adalah terjadinya perubahan status koperasi yang dulunya aktif menjadi koperasi yang tidak aktif. Hal itu disebabkan antara lain oleh karena banyaknya koperasi yang tumbuh tidak berbasis anggota serta lemahnya pendidikan tentang pemahaman dan penerapan nilai-nilai dan prinsip koperasi yang menjadi acuan bagi pertumbuhan, pelaksanaan, dan pengawasan koperasi.
Simpan Pinjam
Pada dasarnya, masih besar harapan untuk tumbuhnya kemandirian koperasi, mengingat perkembangan koperasi di Indonesia justru didominasi oleh koperasi simpan pinjam. Perlu upaya untuk lebih memperluas jaringan usaha koperasi. KSP/USP tidak hanya melayani kebutuhan anggota, namun perlu juga menjangkau kebutuhan nonanggota.
Pada saat ini, koperasi simpan pinjam/ unit simpan pinjam (KSP/USP) menguasai antara 55 sampai 60 persen dari keseluruhan aset koperasi dan populasi koperasi. Posisi KSP/USP dalam pasar keuangan mikro menempati urutan ketiga setelah BRI Unit dan BPR, dengan pangsa pasar sekitar 30 persen. Di Jawa Tengah saat ini terdapat 115 KSP/USP. Jumlah itu merupakan yang terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur (127 KSP/USP). Salah satu contoh KSP yang dapat dijadikan model pengembangan adalah KSP Wanita di Jawa Timur.
Efisiensi dalam koperasi sebenarnya mudah sekali dicapai, karena koperasi telah memiliki segmen pasar yang jelas, yakni para anggotanya sendiri (captive market).
Namun kebergantungan kepada captive market itu perlu diwaspadai, apabila membuat koperasi menjadi terpasung usahanya, sehingga tidak dapat berkembang. Koperasi yang tidak dapat berkembang, berarti memiliki kinerja yang buruk.
Oleh sebab itu, perlu upaya untuk lebih memperluas jaringan usaha koperasi. KSP/USP tidak hanya melayani kebutuhan anggota, namun perlu juga menjangkau kebutuhan nonanggota. Meskipun segmentasi pasarnya akan sulit ditembus karena ketatnya persaingan, koperasi simpan pinjam harus mau mencoba dalam rangka membangun koperasi simpan pinjam sebagai pilar kekuatan perkoperasian nasional.
Efisiensi usaha akan lebih terfokus, apabila koperasi merupakan koperasi yang berbentuk tunggal usaha (single purpose) dengan usaha inti (core business) yang layak.
Dengan memiliki core business, usaha koperasi akan terhindar dari persaingan yang keras. Di samping itu, koperasi single purpose juga dapat meningkatkan efisiensi dari aspek biaya transaksi, karena biaya transaksi koperasi dapat ditekan serendah mungkin.
Tidak seperti koperasi serbausaha (multipurpose), koperasi single purpose tidak perlu mengeluarkan biaya untuk lobi, rapat, mencapai kompromi, dan lain-lain.
Singkatnya, efisiensi dalam koperasi berkaitan erat dengan partisipasi ekonomi anggotanya, yakni sejauh mana setiap anggota bersedia melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan usaha koperasi.
Lemahnya manajemen koperasi selama ini, sering menjadi alasan klasik yang menghambat peningkatan kinerja koperasi. Upaya untuk mengatasi masalah managerial skill itu, dapat dilakukan dengan kegiatan peningkatan dan pengembangan kelembagaan, peningkatan dan pengembangan koperasi melalui temu usaha pemberdayaan ekonomi rakyat, temu kemitraan, dan temu konsultasi, serta peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan latihan manajemen koperasi, seperti yang telah dilakukan oleh Bappeda dan Dinas Koperasi.(68)
-- Achma Hendra Setiawan SE MSi, dosen IESP Fakultas Ekonomi Undip Semarang.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0707/12/opi03.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar